Teknologi gambar tiga dimensi atau yang biasa disebut dengan three dimensional (3D) sebenarnya bukan hal baru dalam kehiduan kita. Merujuk pada ensiklopedia digital
wikipedia.org, teknologi 3D bahkan sudah digagas sejak masa lampau dan dipertunjukkan pertama kali pada 10 Agustus 1928. Yang memperkenalkannya adalah John Logie Baird di perusahaannya di London.
Seiring dengan kemajuan teknologi, perkembangan teknologi 3D tidak hanya diterapkan pada pembuatan film. Sejumlah peralatan elektronik dan perangkat telekomunikasi pun mulai mengekor dengan menerapkan teknologi tiga dimensi. Tak ketinggalan pula adalah telepon seluler (ponsel) 3D.
Namun ada yang berbeda antara teknologi yang diusung dalam film atau televisi 3D dengan ponsel 3D. Pengamat informasi teknologi (IT) Lucky Sebastian mengatakan, untuk menikmati gambar 3D pada ponsel tidak perlu kacamata khusus.
Meski cara kerjanya sama, teknologi layar 3D pada ponsel mampu menghasilkan gambar yang berbeda antara mata kanan dan kiri. Gambar tersebut lalu diproses menjadi satu oleh otak manusia, sehingga menghasilkan kedalaman dan persepsi ruang pada gambar yang dilihat pada layar ponsel.
Bahkan, kini teknologi 3D pada ponsel sudah lebih maju ketimbang 3D pada televisi. “Sekarang semua arahnya ke sana (tanpa kacamata). Jadi nanti saya yakin televisi 3D pun akan tanpa kacamata,” tukas Lucky.
Public Relation LG Electronic Indonesia Ardi Kemara Pradipta menyebut, adanya teknologi Paralaks Sytem pada ponsel 3D. Paralaks adalah lapisan yang ditempatkan di depan layar untuk menampilkan gambar stereoskopik (3D). Lapisan ini terdiri atas serangkaian celah kecil yang memungkinkan setiap mata manusia melihat kumpulan piksel berbeda.
Namun, sejatinya gambar 3D yang tercipta dari ponsel 3D agak berbeda dengan gambar 3D pada televisi atau film. Jika efek 3D pada film adalah gambar yang seperti ke luar dari layarnya, maka efek 3D pada ponsel terlihat ke dalam. “Gambar stereoskopik yang muncul seperti yang ada di Nintendo 3DS,” kata Ardi. Umumnya, hal ini terjadi pada semua ponsel 3D.
Lucky mengatakan maraknya pemanfaatan teknologi 3D tak semata karena sensasi tontonan saja. Teknologi ini juga bisa bermanfaat untuk mendukung pekerjaan.
Dia mengambil contoh, pekerja yang bergerak dalam bidang properti tentu sangat terbantu dengan adanya teknologi ini. Pasalnya mereka bisa menyuguhkan foto atau video rumah dengan dimensi yang tampak seperti aslinya.
Di luar kelebihan teknologi 3D pada ponsel yang mampu menyuguhkan gambar lebih hidup, ponsel 3D tetap mempunyai kekurangan. Lucky mengatakan, untuk menikmati sensasi gambar 3D maka mata harus menyesuaikan diri selama sepersekian detik dahulu. Ini sangat berbeda ketika mata melihat gambar two dimensional (2D) yang tanpa perlu penyesuaian.
Selain itu gambar 3D pada ponsel juga hanya bisa dilihat secara maksimal dari arah yang lurus di depan layar. Pasalnya jika dilihat dari samping maka yang tampak justru gambar berbayang. Oh ya, Lucky juga menyebut gambar 3D tidak bisa dinikmati oleh orang yang menderita kelainan silendris pada mata.
Dari sisi prosesornya, Lucky menjelaskan, ponsel 3D membutuhkan tenaga besar, sehingga kadang harus dijejali dua prosesor sekaligus. Sedotan tenaga besar tersebut juga berimbas pada penggunaan baterai.
Jika kapasitas baterai sudah minim, ponsel 3D biasanya tidak lagi bisa digunakan untuk mengambil gambar. Namun, masih mampu untuk mengambil gambar 2D.
Ada satu lagi kekurangan dari ponsel 3D. Meski ponsel 3D unggul dalam hal tanpa menggunakan kacamata, ponsel tersebut belum memiliki kemampuan untuk mengubah efek 2D menjadi 3D.
“Televisi 3D ada yang mampu mengubah film 2D jadi mempunyai 3D,” ungkap Lucky.